Jumat, 18 November 2016

Harus Imunisasi ?


Bila bibit penyakit penderita TBC, Hepatitis, Meningitis, HIV, Campak, Polio atau penyakit lainnya yang menyarang di tubuh seseorang diambil lantas diolah sedemikian rupa, entah dengan istilah dilemahkan atau dilumpuhkan, kemudian bibit penyakit tersebut diperbanyak lalu disuntikkan ke tubuh Anda atau anak Anda.

Aksi memasukkan bibit penyakit inilah yang akrab disebut vaksinasi atau imunisasi.

Vaksin berasal dari kata vaccinia penyebab infeksi cacar pada lembu. Secara umum, vaksin adalah suatu bahan yang diyakini dapat melindungi orang dari penyakit.

Vaksinasi adalah usaha merangsang daya tahan tubuh dengan memasukkan bibit penyakit yang dilemahkan dan diproses dengan bahan lain.

Sebenarnya vaksinasi atau imunisasi tidak ada hubungannya dengan peningkatan daya tahan tubuh mengingat fungsinya hanya sebagai perangsang sejauh mana daya tahan tubuh seseorang.

Padahal daya tahan tubuh/sistem imunitas perlu dilatih berulang-ulang agar selalu siap bila ada mikroorganisme masuk ke tubuh.

“Maka dari itu, yang kita dengar vaksin harus disuntikkan berkali-kali, bila tidak tubuh tidak membentuk sistem imunitasnya. Namun, pada kenyataannya walaupun telah diimunisasi, tetap saja masih banyak yang terkena penyakit. Kenapa ini bisa terjadi, kemungkinan karena kesalahan cara mem-vaksin, penyimpanannya, atau karena vaksin memang tidak efektif.” ungkap dr. Agus Rahmadi, pengasuh Klinik Sehat, dalam sebuah artikel blog.

“Sebenarnya vaksin diberikan hanya untuk jaga-jaga (preventif)/belum tentu terjadi. Apakah dengan alasan jaga-jaga, kesehatan justru harus dikorbankan (dipertaruhkan)? Belum lagi vaksin banyak menggunakan unsur haram. Kenapa tidak dengan taknik, konsumsi madu, dan habbatussauda yang telah terbukti meningkatkan sistem imunitas?”, lanjutnya.

Sejarah Vaksin

Vaksinasi sesungguhnya adalah salah satu dari sekian banyak upaya Zionis dalam usaha mereka untuk menguasai dunia dengan menyebarkan racun/kuman pembunuh kepada bangsa lain atau agama tertentu, dalam kepentingan politik dan ekonomi.

Diungkapkan dalam Deadly Mist, vaksin dijadikan senjata biologis pemusnah massal sistematis oleh zionis dan kroninya sejak abad ke-18, diawali oleh Jenderal Jeffrer Amherst yang menghabisi suku Indian dengan menyebarkan kuman dan penyakit yang disisipkan dalam selimut dan handuk yang dibagikan ke suku tersebut.

Pada abad ke-19, serum/kuman, virus, dan materi berbahaya lainnya dijadikan senjata senjata biologi dalam peperangan atau pemusnahan massal serta penyebaran racun yang menghancurkan otak dan sistem saraf pusat.

Pada abad ke-20, vaksin modern dikelola oleh Flextner Brothers, yang penelitiannya tentang vaksinasi pada manusia didanai oleh keluarga Rockefeller yang merupakan salah satu keluarga paling berpengaruh di dunia dan bagian dari Zionis International yang memprakasai pendirian WHO dan lembaga dunia lainnya.

Singkatnya, dari data historis, vaksinasi merupakan bagian dari strategi dan misi “pengendalian” jumlah penduduk oleh Zionisme International dalam rangka menggapai misi New World OrderI. Mereka meraup dua keuntungan sekaligus, “pengendalian” jumlah penduduk dan menuai keuntungan yang besar.

Vaksin dan Kepentingan Bisnis

Boleh jadi pula misi zionis dalam program vaksinasi ini senada dengan teori bila ingin senjata laku, maka ciptakan perang. Dalam hal ini bila ingin obat laku, ciptakan penyakit! Dengan strategi ini, zionis berusaha membuat bangsa lain menderita sekaligus menguras isi kantongnya dengan alasan kesehatan.

Sasaran vaksin adalah negara-negara berkembang yaitu Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Yang mengambil keuntungan adalah negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Adanya kepentingan bisnis dan siasat merusak kesehatan manusia di balik imunisasi ini semakin mudah difahami apalagi bila dicermati bahwa imunisasi/vaksinasi merupakan perbuatan yang membingungkan dan sulit difahami dan diterima akal sehat serta bertentangan dengan aturan Islam.

Permasalahan Vaksin Lainnya

Vaksin yang selama ini dikembangkan adalah salah satu produk farmasi, dimana kehalalan produk-produk farmasi sendiri dikritisi oleh Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim.

Ketua MUI pun menegaskan bahwa hukum mengkonsumsi obat dan vaksin sama dengan hukum mengkonsumsi makanan, yakni harus halal. Bahkan boleh jadi, bila dikaji, pemberian vaksin juga bertentangan dengan aturan Badan POM RI yang tidak memberikan izin edar produk yang bersumber dari bahan tertentu.

Penggunaan bahan haram dalam pembuatan vaksin pun diakui oleh produsen vaksin terbesar di Indonesia, PT. Biofarma, seperti pernah diungkapkan oleh Drs. Iskandar, Apt., MM., ketika menjabat Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT. Biofarma bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV).

Sementara Kepala Divisi Produksi vaksin virus PT. Biofarma, Drs. Dori Ugiyadi mengatakan, “Di Biofarma, kita menggunakan sel ginjal monyet untuk produksi vaksin polio dan sel embrio ayam untuk produksi vaksin campak.”

Bahaya imunisasi masih belum final dalam penelitian. Namun setidaknya ada beberapa hal tentang imunisasi yang perlu diwaspadai sebagai berikut:

1. Resiko Tubuh Mudah Tertular Penyakit

Imunisasi sebenarnya bekerja untuk melawan penyakit tertentu dengan membuat sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh ini diatur dalam tubuh sesuai dengan antigen yang dimasukkan ke dalam tubuh seseorang. Namun setiap negara biasanya memiliki jenis penyebaran penyakit yang berbeda. Ketika imunisasi diberikan untuk jenis penyakit tertentu, maka ketika orang itu pergi ke sebuah negara lain masih bisa tertular penyakit. Penyakit ini biasanya hanya berkembang di negara atau daerah tertentu. Virus akan masuk ke dalam tubuh lebih cepat dan kemudian menyerang tubuh lebih cepat. Jadi resiko tertular penyakit akan tetap ada.

2. Memperburuk Kondisi Autisme

Beberapa anak atau bayi yang menderita penyakit autis, bisa menerima bahaya yang lebih buruk. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andrew Wakefield membuktikan jika imunisasi bisa menyebabkan kondisi yang lebih buruk pada autisme. Beberapa imunisasi untuk mencegah penyakit gondok dan campak sudah terbukti. Namun penelitian ini dibantah dan hasil penelitian itu belum terbukti hingga saat ini, entah kenapa.
Penyakit autisme adalah kondisi yang sudah terbawa sejak dalam rahim dan resiko imunisasi bisa menjadi lebih berat. Jadi inilah bahaya yang sebenarnya untuk penderita autisme.

3. Merusak Sistem Kekebalan Alami Tubuh

Imunisasi juga bisa menyebabkan sistem kekebalan alami rusak sehingga tubuh mudah terserang penyakit. Ketika tubuh bisa membuat sistem kekebalan alami maka sebenarnya tubuh bisa menolak penyakit dengan baik. Kondisi ini bisa dibandingkan dengan kekebalan buatan yang berasal dari vaksin yang sudah dimasukkan ke dalam tubuh.
Hanya reaksi sakit yang lebih parah bisa muncul ketika tubuh bekerja dengan sistem kekebalan alami. Jadi kondisi ini memang sesuai dengan keadaan kesehatan tubuh.

4. Merkuri dan Aluminium dalam Vaksin Merusak Sistem Syaraf

Bahan vaksin yang digunakan untuk imunisasi menggunakan stabilisator. Bahan yang digunakan adalah berupa merkuri dan aluminium. Bahan yang bekerja dengan bahan pengawet dalam vaksin ini bisa membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Namun ternyata efek dari kedua bahan ini sangat berat untuk sistem syaraf.
Pada awalnya efek ini hanya terjadi pada bekas suntikan saja, namun ternyata setelah beberapa jam bahan menyebar ke semua bagian tubuh.
Merkuri dalah logam berat yang bisa menyebabkan kerusakan syaraf berat. Dan hingga saat ini resiko ini belum mendapatkan penelitian yang serius.

5. Membuat Tubuh Mengalami Resistensi Terhadap Obat Tertentu

Vaksin yang dimasukkan dalam imunisasi bisa membuat tubuh mengalami reaksi berlebihan terhadap beberapa jenis penyakit tertentu. Resistensi ini terjadi ketika obat sama sekali tidak bisa menghancurkan penyakit dan justru memperburuk kondisi penyakit.
Salah satu contohnya adalah ketika imunisasi DPT bisa menyebabkan batuk rejan yang lebih parah dan sulit untuk diobati. Jadi imunisasi bisa memicu jenis penyakit baru dalam tubuh dengan kondisi yang lebih parah. Sistem kekebalan tubuh sudah mengalami gangguan dan sulit untuk mendorong kekebalan tubuh alami melawan penyakit.

6. Mendorong Kontaminasi Virus

Vaksin yang diproduksi secara khusus di dalam laboratorium bisa menyebabkan kontaminasi yang sangat berbahaya. Beberapa buktinya adalah vaksin polio yang ditumbuhkan di dalam tubuh kera bisa menyebabkan virus baru pada ginjal kera dan memicu kanker pada manusia. Kanker yang sering menjadi resiko adalah seperti kanker tulang dan kanker otak. Kemudian ketika seseorang terkena virus ini maka penyebaran virus bisa menjadi lebih cepat, sehingga kontaminasi virus akan lebih cepat.

7. Demam

Demam menjadi salah satu efek samping imunisasi yang sangat sering terjadi. Kondisi ini sangat umum, namun juga bisa menjadi sangat serius. Demam bisa menjadi reaksi dalam tubuh karena tubuh mendapatkan obat dari vaksin yang sudah dimasukkan.

8. Nyeri pada Bekas Suntikan

Nyeri pada bekas suntikan hampir selalu terjadi setelah imunisasi. Reaksi ini juga bisa muncul pada orang dewasa yang menerima vaksin. Biasanya nyeri disertai dengan bekas kemerahan, gatal yang berlebihan, sensasi panas, sakit jika disentuh dan bengkak.
Cara perawatan untuk nyeri bekas suntikan dengan mengompres pada daerah bekas suntikan. Kompres dengan air hangat bisa mengurangi rasa tidak nyaman.

9. Muntah

Muntah bisa terjadi pada beberapa bayi dan anak yang baru saja menerima imunisasi. Dan pada orang dewasa sering disertai dengan pingsan atau sakit kepala. Jika hal ini terjadi maka cukup berikan cairan sehingga bisa mencegah dehidrasi. Jika muntah berlebihan maka segera bawa anak Anda ke dokter yang berpengalaman dan dipercaya.

10. Rungsing dan Tidak Nafsu Makan

Bayi dan anak-anak yang menerima imunisasi juga sering rungsing (rewel) dan sulit untuk makan. Pada umumnya kondisi ini muncul akibat beberapa reaksi yang lain seperti demam, sering muntah dan sakit pada bekas suntikan.

11. Alergi atau Anafilaksis

Alergi yang parah bisa terjadi pada anak atau bayi yang menerima imunisasi. Namun kondisi ini sangat jarang terjadi. Anafilaksis adalah kondisi alergi yang sangat serius, bibir bisa membiru dan bisa menyebabkan kematian.

ASI Adalah Imunisasi Alami

Bayi Diberi Air Susu Ibu Selama 2 Tahun. Propaganda ASI tidak cukup mesti diimunisasi adalah propaganda yang dihembus-hembuskan dalam rangka sosialisasi produk imunisasi atau vaksinasi.

Secara garis besar terdapat 2 macam kekebalan di dalam ASI, yaitu faktor kekebalan non spesifik (seperti bifidus factor, laktoferin, lisozim) dan faktor kekebalan spesifik (seperti imunoglobulin).


Bifidus factor.
Di dalam ASI, kadar bifidus factor 40 kali lipat lebih banyak dibanding susu lembu. Bifidus factor dalam suasana asam di dalam usus bayi akan mendorong pertumbuhan lactobasilus bifidus. Lactobasilus bifidus ini di dalam usus bayi akan mengubah laktosa yang banyak terkandung di dalam ASI menjadi asam laktat dan asam asetat, sehingga suasana usus bayi akan semakin asam. Suasana asam ini akan menghambat pertumbuhan kuman enterobacteriaceae dan Eschericia coli (E.coli) patogen, yaitu suatu jenis kuman yang paling sering menyebabkan diare pada bayi. Oleh karena itu, kuman komensal terbanyak dalam usus bayi-bayi yang mendapat ASI sejak lahir adalah bakteri bifidus. Sebaliknya, flora usus dari bayi yang mendapat susu lembu adalah kuman-kuman gram negatif (terutama bakteroides dan koliform).

Maka tidak heran jika bayi yang tidak mendapat ASI lebih peka terhadap infeksi kuman patogen karena tidak adanya perlindungan seperti halnya pada bayi yang mendapat ASI.

Laktoferin. ASI mengandung laktoferin dalam kadar yang bervariasi di antara 6 mg/mL kolostrum dan tidak lebih dari 1 mg/mL di dalam ASI matur. Meskipun kadar laktoferin pada kolostrum susu lembu juga tinggi, yaitu 5mg/mL, tetapi kadar ini cepat menurun. Di dalam ASI yang matur, laktoferin selain menghambat pertumbuhan Candida albicans, juga bersama-sama (sinergistik) dengan SIgA menghambat pertumbuhan E-coli patogen.

Lisozim. Sudah lama diketahui bahwa lisozim adalah suatu substrat anti-infeksi yang sangat berguna di dalam air mata. Akhir-akhir ini terbukti bahwa di dalam ASI juga terdapat lisozim dalam kadar yang cukup tinggi (sampai 2mg/100mL), yaitu 5000 kali lebih banyak daripada susu lembu. Lisozim pada ASI ini tidak dihancurkan di dalam usus sehingga kadarnya dalam tinja masih ditemukan dalam konsentrasi yang cukup tinggi.

Khasiat lisozim, bersama-sama dengan sistem komplemen dan SIgA dapat memecahkan dinding sel bakteri (bakteriolitik) dari kuman-kuman enterobacteriaceae dan kuman-kuman gram positif. Selain itu, lisozim diduga juga melindungi tubuh bayi dari berbagai infeksi virus antara lain virus herpes hominis.

Imunoglobulin. Semua macam imunoglobulin ditemukan di dalam ASI. Dengan tehnik yang baru, seperti imuno-electrophoresi, radio immune assay, elisa, dan sebagainya dapat diidentifikasi lebih dari 30 macam imunoglogulin. Delapan belas di antaranya berasal dari serum si ibu dan sisanya hanya ditemukan di dalam ASI atau kolostrum.

Selain itu, imunoglobulin G dapat menembus plasenta dan berada pada konsentrasi yang cukup tinggi di dalam darah janin/ bayi sejak lahir sampai umur beberapa bulan, sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap beberapa macam penyakit.

Imunoglobulin terpenting dan terbanyak dalam darah manusia adalah IgG. Sebaliknya, di dalam ASI yang terpenting adalah IgA.
IgA dianggap penting tidak hanya karena konsentrasinya yang tinggi, namun juga karena aktivitas biologiknya. Dari kelas IgA ini, yang paling dominan adah SIgA, yang kadarnya 90% dari seluruh kadar imunoglobulin di dalam kolostrum maupun ASI matur.
Diduga fungsi utama dari SIgA adalah mencegah melekatnya kuman-kuman patogen pada dinding mukosa usus halus. Selain itu, SIgA juga  dapat menghambat proliferasi kuman-kuman tersebut di dalam usus. Kadar imunoglobulin di dalam payudara kiri dan kanan adalah sama dan kadar ini juga konstan di dalam ASI. Kadar ini selalu sama baik pada permulaan laktasi (menyusui) maupun pada akhir laktasi dan juga konstan tiap 24 jamnya.

Hentikan Vaksin

Setelah merenungkan agenda  Yahudi serta dampak buruk vaksin, cukup banyak tenaga medis yang menghentikan dan menentang vaksinasi, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Seorang dokter ahli kandungan yang kami kenal, menghentikan program imunisasi di kliniknya karena tidak ingin men-dzolimi bayi dan masyarakat dengan memasukkan barang-barang haram dan membahayakan kesehatan. Menurutnya, semisal vaksin hepatitis B membuat organ-organ tubuh bayi terutama liver menjadi sangat terpaksa merespon virus-virus dan zat kimia sehingga memungkinkan terjadinya kelemahan liver untuk tahap kehidupan berikutnya.

Dr. Fadilah Supari saat menjabat sebagai Menteri Kesehatan secara terang-terangan mendesak kajian ulang mengenai kebaradaan Namru 2 (Naval Mediacal Research Unit), proyek riset militer AS dalam masalah vasin. Selain itu, dia juga menentang proyek jual beli virus flu burung dan bisnis-bisnis kotor Amerika lainnya.

Siti Fadilah, mengamati adanya konspirasi AS dan WHO dalam mengembangkan senjata biologis virus flu burung sehingga ia dinilai “membuka kedok” WHO yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang merugikan negara-negara miskin.

Bahkan Amerika Serikat sendiri telah mendirikan The Vaccine Adverse Events Reporting Sistem (VAERS) yang mencatat berbagai reaksi buruk yang disebabkan oleh berbagai program vaksinasi. Menurut laporan VAERS, tercatat 244.424 kasus, dengan 2.866 kasus berujung kematian sejak tahun 1999-2002.

Demikan pula masyarakat di AS, Kanada, dan beberapa negara Eropa seperti Inggeris, Perancis, dan Belanda telah membatalkan beberapa program vaksinasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar